Penjualan ponsel atau telepon seluler di Indonesia turun 14,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) tahun lalu menjadi 35 juta unit. Xiaomi mencatat penurunan terparah.
Ini pertama kalinya dalam 13 tahun atau sejak 2009 penjualan smartphone di Indonesia turun, berdasarkan data International Data Corporation (IDC) Quarterly Mobile Phone Tracker.
Rincian penurunan penjualan HP berdasarkan merek dapat dilihat pada Kotak Data di bawah ini:
Faktor penyebab turunnya penjualan gadget di Indonesia antara lain:
Kemacetan rantai pasokan merupakan faktor dominan Inflasi yang berdampak besar pada daya beli konsumen, terutama bagi kelompok menengah ke bawah yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan utamanya Peningkatan pengeluaran pada aspek lain seperti transportasi, sejalan dengan imbal hasil masyarakat untuk kegiatan pra-pandemi.
Rincian penjualan gadget di Indonesia berdasarkan harga adalah sebagai berikut:
Harganya di atas US$ 200 atau Rp. 3,1 juta, terhitung sekitar 74% dari seluruh pasar ponsel Indonesia. Turun 19,8% yoy Harga US$ 200 Harga di atas US$ 600 atau Rp 9,4 juta naik 36,9% yoy, dipimpin oleh Apple dan Samsung
Detail penjualan perangkat berdasarkan saluran pemasaran, sebagai berikut:
Saluran online: JD.ID ditutup, sementara TikTok Shop mengalami peningkatan besar Saluran offline: Erajaya Digital memperluas ritel offline, terdiri dari gerai Erafone, toko merek, dan Erablue. Blibli membuka tujuh toko offline baru di tahun 2022.
“IDC memprediksi 2023 akan stabil. Skenario yang lebih positif dapat membuka kemungkinan pertumbuhan kecil satu digit (di bawah 10%) pada saat dunia sedang bergumul dengan inflasi, pergerakan nilai tukar, ketegangan geopolitik, dan kebijakan moneter,” kata Associate Markets Analyst di IDC Indonesia Vanessa Aurelia dalam siaran persnya, pekan lalu (16/2).
“Konsumen akan lebih berhati-hati dengan pengeluaran dan perusahaan smartphone juga akan lebih berhati-hati dalam menyusun strategi, sambil merestrukturisasi pendekatan mereka ke pasar,” tambahnya.
Produsen gadget segmen bawah diperkirakan akan mengalami tekanan akibat bergesernya belanja konsumen ke daerah lain. Sedangkan gadget segmen premium diprediksi akan lebih tangguh karena kecenderungan konsumen memiliki smartphone yang lebih awet dan memiliki spesifikasi yang lebih baik.
“Di sisi lain, vendor gadget juga fokus untuk memperluas portfolio luxury mereka,” ujarnya.