Setidaknya hampir 20 startup telah tutup di Indonesia, dan sebagian besar bergerak di bidang penyediaan sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Startup e-grossing Titipku mengungkap alasan mengapa banyak pesaingnya yang tumbang.
WHO mengakhiri status darurat kesehatan global untuk Covid-19 pada 5 Mei. Masyarakat kini bisa berkumpul dalam jumlah besar dan berbelanja langsung di pasar.
Founder dan CEO Titipku Henri Suhardja mengatakan hal ini menjadi tantangan bagi startup retail yang sedang berkembang di masa pandemi corona. “Tidak bisa dipungkiri ada masyarakat yang berbelanja langsung ke pasar,” ujarnya dalam keterangan media, Rabu (31/5).
Ia juga membagi pengguna menjadi tiga kelompok yaitu:
Kembali belanja langsung di pasar Terus belanja online karena sudah merasakan kemudahannya Keluarga baru atau karyawan baru memilih belanja online, karena fokus pada pekerjaan atau urusan rumah tangga
Karena itu, dia optimistis bisnis ritel akan terus mendapat permintaan. “Hal ini karena masyarakat Indonesia didominasi oleh generasi milenial yang digitally savvy, dan ke depan akan didominasi oleh Gen Z yang merupakan digital natives,” ungkapnya.
“Generasi ini akan memiliki pola pikir ‘kalau bisa belanja online, belanja online saja’,” tambah Henri.
Cara lain agar model bisnis tidak tergerus oleh bisnis-bisnis baru yang bermunculan adalah dengan mengadaptasi model bisnis omnichannel O2O alias online to offline. Sementara itu, Titipku mengembangkan bisnisnya dengan model business to business to consumer alias B2B2C menyasar konsumen individu dan korporasi.
“Jadi sekarang Titipku tidak hanya fokus untuk memenuhi kebutuhan pengguna rumahan saja, tetapi pedagang pasar, pengusaha hotel, restoran dan kafe atau horeka,” kata Henri.
Di Indonesia, setidaknya ada lima perusahaan rintisan penyedia bahan pokok yang menutup layanan atau area bisnis tertentu sejak pandemi corona terjadi, yaitu:
Startup pemasok sayuran dan bahan pokok di Brambang tutup dan ubah model bisnis Supplier startup sayuran dan bahan pokok Sayurbox tutup toko offline dan bisnis di dua lokasi Supplier startup sayuran dan bahan pokok Tanihub tutup business to consumer service (B2C) Startup supplier sayuran dan bahan pokok HappyFresh tutup sebentar tetapi dibuka kembali setelah mendapatkan pendanaan Fast trade atau flash shopping startup Bananas menutup operasi dan berencana untuk melakukan pivot
Sementara itu, ada dua startup yang bangkrut di bisnis ini, yaitu:
Stoqo Tumbasin
Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan semua inovasi memiliki risiko. “Kegagalan pasti ada, karena membuatnya tidak mudah,” ujarnya dalam acara Bihalal East Ventures Open Book & Halal di Jakarta, Selasa (9/5).
Ia mengungkapkan permasalahan terbesar yang dihadapi oleh start-up yang menyediakan kebutuhan pokok, yaitu:
Unit ekonomi Margin kecil jadi tidak untung Biaya pengiriman mahal
“Barang yang Fast Moving Consumer Goods atau FMCG untungnya kecil. Setiap transaksi sebenarnya negatif,” katanya.
East Ventures berinvestasi di startup fast-commerce Bananas yang akhirnya mengumumkan shutdown pada Oktober 2022. Padahal, startup ini baru mulai beroperasi pada Januari 2022.
Ketua Asosiasi Modal Ventura Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro mengatakan, ada dua faktor yang mempengaruhi perusahaan baru tertutup di bidang pemasok sayuran dan sembako, yaitu:
Mengubah Perilaku Konsumen Perilaku berbelanja di Indonesia berbeda dengan negara lain
Peluang dari pandemi Covid-19 ini dimanfaatkan sebagai peluang besar oleh para pelaku start-up. “Di masa pandemi corona, konsumen tidak punya pilihan selain berbelanja online,” kata Eddi kepada Katadata.co.id, Senin (8/5).
Saat kasus Covid-19 di Indonesia sedang tinggi, banyak bermunculan startup fast-commerce. Startup ini menyediakan layanan pemesanan pengiriman sembako dalam hitungan menit dan jam.
Ini menciptakan persaingan sengit dari pemain terkenal di pasar.
Selain itu, sekarang orang berbelanja di mal. “Akibatnya, model bisnis perdagangan cepat di Indonesia menjadi tidak berkelanjutan,” katanya.
Tantangan lain bagi startup e-grocery, termasuk perdagangan yang bergerak cepat, adalah sulitnya menjaga kualitas dan ketersediaan produk. “Banyak startup yang menyadari bahwa banyak kesulitan dalam menjaga kualitas dan ketersediaan produk, terutama dalam kasus startup dengan model bisnis perdagangan yang bergerak cepat,” kata Eddi.
Menurutnya, awal perdagangan cepat di Indonesia perlu dikembangkan, seperti:
Meningkatkan efisiensi operasional dan mengoptimalkan rantai pasokan Membangun merek dan reputasi yang kuat Menciptakan nilai tambah bagi pelanggan Memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi